Nama :
Meika Nur Masita
Kelas :
4C
NPM : 15410094
Ibu Tolong Aku
Aku
tak sanggup lagi melakukan apa-apa, jika semua telah terlanjur dicap buruk
begini. Orang-orang kampung begitu tajam melihatku. Matanya seketika berubah
menjadi mata setan yang memerah. Tubuhnya juga menjadi kekar. Mulutnya sungguh
mengerikan seperti siap untuk menerkam mangsa. Aku semakin tak ingin keluar
rumah, melihat kenyataan bahwa orang-orang kampung memandangku sebelah mata.
Setiap
hari mataku hanya bisa mengintip dari lubang bilik rumahku. Melihat orang-orang
berlalu lalang. Aku sangat takut jika aku ketahuan menginntip dari balik
jendela. Orang-orang begitu tajam melihat rumahku. Seperti ada yang aneh dari
rumahku dan aku. Tapi sampai sekarang aku belum tahu mengapa orang-orang begitu
membenciku.
Setiap
kali mereka melewati rumahku, sesekali kudengar mereka mengatakan rumah aib dan
anak haram. Seketika kupingku terasa ingin meleleh, mataku menjadi semakin
tajam melihati setiap gerik mereka. Apa yang dimaksud mereka, siapa anak haram
itu. Aku atau orang lain. Begitu menderitakah aku, Tuhan? Sepahit inikah jalan
hidupku. Jalan seorang anak yatim piatu yang baru ditinggal ibu seminggu yang
lalu. Dan tak tahu siapa dan dimana ayahku sekarang.
Aku
ingin bermain dengan teman-temanku. Bukankah usiaku ini usia untuk menikmati
bagaimana indahnya bermain dengan teman-teman, Tuhan? Aku tak keluar rumah dan
bermain seperti yang lain. Orang tua mereka melarang untuk bermain denganku
karena aku dicap sebagai anak haram. Ibu, tolong aku. Aku tidak ingin hidup
sebatang kara. Tak punya saudara untuk sekedar berbagi beban hidup. Ibu tolong
aku, ibu tolong aku.
Seketika hujan
begitu derasnya keluar dari kedua mataku. Sangat merindunya aku kepada ibu.
Hatiku masih dipenuhi luka-luka yang masih sangat basah. Kenapa Tuhan begitu
cepat memanggil ibuku. Ibu yang satu-satunya aku miliki. Orang yang
satu-satunya aku sayangi di dunia ini. Ya Tuhan, apa salahku sampai-sampai tak
ada orang yang berbelas kasih kepadaku. Mengapa orang-orang begitu membenci dan
menganggap aku ini anak haram.
Rasa penasaranku
semakin menjadi-jadi. Kulihat segerombolan ibu datang ke warung Mak Ijah.
Membeli sayur-mayur untuk dimasak. Di atas meja tertata rapih sayuran. Di
gantungnya beberapa sachet kopi, dan sachet shampoo. Di sampingnya terdapat
jajan pasar yang dibiarkan terbuka begitu saja. Tangan-tangan lembutnya memilih
sayuran yang akan dimasak. Kulihat ada seorang ibu berbaju merah, rambut ikal
dan wajah bundar sesekali menyinggung tentang aku.
Aku beranjak dari
tempat tidurku, tapi langkahku begitu berat. Tubuhku begitu bergejolak,
keringat keluar bercucuran bersamaan dengan rasa penasaranku. Aku memberanikan
diri untuk melihat dari jendela. Dengan sangat hati-hati, sedikit demi sedikit
ku buka korden yang begitu lupuk seperti tak dicuci 50 tahun. Korden yang
berwarna merah sekarang sudah tak berwarna merah lagi. Aku tak tahu mengapa ibu
tak membeli korden yang baru.
Semakin keras
kudengar, nama ibu selalu disebut disetiap bibir mereka. Aku semakin penasaran,
mengapa aku dan ibuku dianggap aib. Ibu berbaju merah, istri pak Rt lantang
berbicara tentang ibuku.
Mereka
mengatakan bahwa ibuku seorang pelacur. Setiap malam keluar untuk menemani
laki-laki hidung belang yang kekurangan nafsu. Aku semakin tak percaya. Ibuku
kerja untuk mengidupiku karena aku tak tahu kemana ayah pergi. Saat aku
terbangun di malam hari, ibu memang tak ada. Ibu bekerja untukku. Setiap
terbangun, aku selalu menemukan surat yang isinya bahwa ibu pamit untuk
bekerja. Aku tahu ibu adalah seorang yang jujur, aku tak percaya kalau ibu
membohongiku. Suara kencangnya menjadi-jadi. Mereka mengatakan bahwa ibu selalu
mangkal di alun-alun kota. Menuggu pria yang tak jelas asal-usulnya untuk
mencicipi tubuhnya.
Bibirnya semakin
fasih bercerita, aku tak kuat lagi mendengar cerita tentang ibu. Aku langsung
tak berdaya, jantungku seketika berhenti berdetak. Tangan dan kakiku tak bisa
ku gerakkan. Mataku sayup-sayup melihat mereka memandangku dengan rasa benci.
Telingaku masih kuperintahkan untuk mendengar dengan tajam. Air mataku semakin
tak terbendung lagi menetes keluar dengan segenap rasa luka di hati.
Terdengar mereka
mengatakan bahwa aku adalah anak hasil perzinahan yang diharamkan agama. Aku
anak hasil dari ibu melacur. Aku anak yang terlahir dari persetubuhan yang
hina. Aku semakin lemas ketika mendengar itu. Aku tak percaya kalau aku
anak hasil perzinahan. Lama-lama tubuhku
kubiarkan tergelatak di tanah. Dadaku terasa sesak mendengar kenyataan itu.
Kepalaku semakin pening tak kuat lagi membawa beban hidup.
Aku tak bisa
memendung air mata, kubiarkan mataku mengeluarkan darah kepedihan. Pedih yang
tak bisa kuluapkan. Hanya erangan yang keluar dari mulutku. Ya Tuhan, kenapa
aku terlahir dari buah cinta yang haram. Kenapa begitu banyak orang-orang yang tak
bisa menerimaku. Apakah ini mutlak kesalahanku Tuhan? Aku juga tak ingin
dilahirkan jika aku tahu akan menjadi bahan omongan orang. Ibu, mengapa kau
melahirkanku. Tak malukah kau memiliki anak sepertiku. Anak yang tak diinginkan
kehadirannya. Apakah ibu sengaja agar aku yang merasakan kepahitan hidup ini.
Merasakan bahwa orang-orang tak bisa berterima kehadiranku.
Seberat inikah
beban hidup seorang anak haram. Banyak orang membenciku dimana-mana. Tak punya
teman, bahkan suadara. Ibu, tolong aku. Aku hidup sebatang kara ibu. Ibu, kau
harus tahu bahwa orang-orang mengatakan aku ini anak haram. Ibu, tolong katakan
bahwa aku ini anakmu bukan anak haram. Ibu cepatlah kembali, aku ingin
memelukmu. Ibu tolong aku....
Tidak ada komentar:
Posting Komentar