Meika Nur
Masita
NPM:
15410094
Mengancam Kenangan
8 oktober 2015,
itulah tepatnya kita para mahasiswa baru jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra
Inddonesia menonton pertunjukan drama yang dipertunjukan oleh Teater Tikar
Semarang yang tepatnya di Gedung Pusat Lantai 7 Universitas PGRI Semarang.
Pertunjukan Drama itu berjudul Mengancam Kenangan , yang sukses ditulis oleh
Iruka Danishwara dan disutradarai oleh Ibrahim Bhra tepatnya pada pukul 16.00.
Di setiap unsur kehidupan di muka bumi tak kan pernah lepas
oleh kenangan abadi. Benda mati ataupun hidup pastilah memiliki kisah
masing-masing. Hal itu tatkala berbeda dengan apa yang rasakn oleh Nyonya. Seorang
wanita yang kehidupannya hanya diratapi oleh air mata yang tak pernah mengering
sepanjang hari. Nyonya akrab panggilannya,hidup seorang diri tanpa belahan jiwa
ataupun belahan hatinya. Tak tau kemana perginya kedua pasang kaki itu. Yang ia
tau hanyalah mengingat dan mengingat kenangan. Tak pernah sedetikpun kenangan
itu terlepas dari benaknya.
Di pagi yang bungkam,Nyonya dengan
raut muka yang memelas itu tak tau harus bagaimana untuk tidak mengingat
kenangan itu. Tapi itu tak bisa dilakukannya,batinnya selalu memberontak
tatkala akan menghapus kenangan itu. Sedangkan Nyonya sudah terlalu asik untuk
membersihkan teras rumahnya. Dimana kaki -kaki kecil pernah menapak disana
bersama sepasang kaki besar yang tak pernah absen menemani. Setiap ada sesuatu
yang turut dalam ijuk sapunya ke kanan kiri, terbuang bersama debu. Sudah terlalu berlipat-lipat
tumpukan kenangan itu sehingga menjadi menggunung.
“Tapi
,tahukah kau bahwa kami telah melihatmu setiap hari. Dengan betapa penuh
cinta dan kasih meletakkan jemarimu di atas sana. Raut wajahmu sudah
menggambarkan segalanya. Setiap kerut yang ada diwajahmu bagai bercerita. Kami
bahkan tahu segala cerita yang tersimpan di dalam kepalamu. Kami jadi saksi
yang tidak pernah bicara pada siapapun. Cerita tentang tragedi-tragedi yang
sama bisunya dengan kami. Begitu dalam pelukanmu ternyata kalah dengan
serdadu-serdadu bertopi panci itu,yang mmencoba merebut ia dari tanganmu.
Seketika yang kau genggam hanyalah rambuut yang di setiap helainya tertukis
kenangan masa lalu. Dan ituu pun yang akhirnya kau kenang”.
Diantara banyak benda yang ada
didalam ruang kenangan,hanya selalu pigura-pigura yang menempel yang menjadi
fokusnya. Tangan lembutnya tak pernah absen untuk mengusap pigura-pigura itu
dengan harapan akan melebur kenangan-kenangan itu. Debu yang menempel
mengisyaratkan betapa dalamnya luka hati yang tergoreskan. Maka Nyonya terjebak
pada pelukannya di teras rumah. Memeluk dirinya sendiri erat-erat. Riuh rendah
suara langka kaki tidak membuat ia beranjak dari tempatnya.
“Kelak apa yang bisa membuatmu pergi
dari sana,Nyonya?
“Tidak ada. Karena pigura-pigura itu
pun tidak akan terusik dari tempatnya,begitupun aku. Begitupun kenangan yang
mengukir kaki-kaki kita”.
Setiap malam tiba,sang kaki kecilnya
selalu bertanya-tanya akan kemana
perginya kaki besar itu. Itu menjadi wajar karena memang kaki besarnya pergi
tanpa jejak sampai saat ini. Ia pun mendesah kebingungan akan pertanyaan itu.
Isi kepalanya seakan-akan pecah namun hatinya bungkam tak tau harus berucap
apa.
“Ayahmu pergi entah kemana. Ke sebuah
tempat yang entah dimana. Dimana yang tidak bisa aku terima. Dan kau terus-terusan
bertanya perihal ‘dimana’,tidakkah itu menyakitkan? Seberapa harus kau tau
tentang ‘dimana’itu?
“Aku tidak ingin tahu dimana perihal
dimana ayah,aku hanya ingin cerita-ceritamu tentangnya”.
Hatinya miris mendengar perkataan
itu. Wajahnya semakin pucat karena ia selalu dipaksa untuk hal itu. Akan tetapi
hanya diam dan bungkam yang bisa ia lakukan.
Kepergian belahan
jiwanya menjadikannya ia semakin layu,seperti tanaman yang tak mendapatkan air
ketika kehausan. Kepedihananya semakin bertambah tatkala ia mengetahui sang
kaki kecilnya perlahan meninggalkannya seorang diri. Air matanya seketika
tumpah. Dan ingatannya akan kenangan itu menjadi semakin menggunung.
Bak mandi yang seketika itu
penuh,kini menjadi aliran sungai yang mengalir deras bak baru saja di tumpahi
oleh hujan lebat. Air keruh yang terdapat dalam bak itu mengartikan betapa
kelamnya kenangan masa lalu yang begitu menyayat hati. Tapi apa boleh buat,air
itu sudah terlanjur berubah menjadi semakin keruh dan berlumut. Untuk
menghapusnya hanya dengan mengganti air itu dengan air yang baru . Dengan
mengahapus semua kenangan-kenangan itu akan membuat air itu berubah menjadi
bening dan jernih lagi. Akan tetapi,si Nyonya seakan putus asa untuk
melakukannya. Ia tak bisa jika harus dengan cara itu semua kenangan yang ada di
benaknya akan terlepas begitu saja.
“Nyonya ,mengapa kau tak pernah tahu
bagaimana menghentikan apa saja yang datang padamu?
“mengapa harus aku hentikan? Bukankah
sikap yang paling baik adalah menerima saja?
“kau membiarkan,bukan menerima”.
Sontak ia tertegun dengan ucapan
itu. Semakin lama pikirannya semakin melayang kemana-mana. Ia hanya ingin
menyimpan rapat-rapat semua tragedi yang pernah terjadi pada dirinya. Ia tak
ingin ada orang yang mengetahuinya selain pigura-pigura yang ada dalam ruang
kenangannya.
Sama seperti kenangan yang sangat
bungkam pada setiap apa yag dilaluinya,setiap insan akan merasa diancam oleh
apa yang ia lalui sendiri,tanpa orang lain. Dan,cara terbaik memberikan ancaman
pada kenangan adalah dengan menerima,menyaksikan,dan berlapang dada bahwa
kenangan itu akan ada di tempatnya pada seluruh sisa hidupnya.
Itulah
sepenggal cerita yang dipertunjukan oleh Teater Tikar Semarang pada tanggal 8
oktober kemarin, awalnya memang susah
ditebak, menceritakan apakah drama ini , karena dalam pertunjukan drama yang di
gelar di Gedung Pusat lantai 7 ini menggunakan bahasa bahasa kiasan yang
mungkin agak sulit untuk dipahami karena terlalu banyak monolog. Namun jika
kita perhatikan , kita tonton dengan serius maka drama ini dapat mudah kita
pahami.
Pesan yang dapat diambil dari sepenggal
cerita dari teater ini adalah kita hidup pastilah memilki kisah. Dan kisah itu
akan menjadi kenangan yang abadi. Kenangan akan nampak indah jika kita
melakukan hal-hal yang positif dan kenangan akan menjadi hal pahit jika kita
melakukan hal-hal yang dinilai negatif.